Salah satu sunnah fitrah adalah khitan, sebuah tuntunan 
syariat yang mulia, mengandung dorongan dan ajakan kepada kebersihan, 
mencegah timbulnya beberapa penyakit dan memberi kenikmatan kepada 
pasangan suami istri.
Definisi
Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutup ujung 
penis, sementara khitan bagi wanita adalah mengambil sedikit daging di 
ujung klitoris.
Dalil disyariatkannya khitan
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda, ”Fitrah
 ada lima atau lima perkara termasuk sunnah-sunnah fitrah; khitan…, 
hadits ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Khitan termasuk tuntunan nabiyullah Ibrahim, beliau berkhitan dalam 
usia delapan puluh tahun (HR. Al-Bukhari dan Muslim), sementara Allah 
memerintahkan kita agar mengikuti millah Ibrahim, firmanNya, “Maka
 ikutilah agama Ibrahim yang lurus.”(Ali Imran: 95). Dengan 
berkhitan berarti kita meneladani Ibrahim alaihis salam.
Hukum khitan
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan, Imam an-Nawawi di 
dalam al-Majmu’ 1/300 menyebutkan perbedaan pendapat ini, Imam 
asy-Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa khitan wajib atas laki-laki dan 
wanita, sementara Abu Hanifah dan Malik berpendapat sunnah bagi 
laki-laki dan perempuan.
Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah (Komisi fatwa ulama Saudi 
Arabia) nomor fatwa 2137, tercantum pertanyaan, “Apakah khitan khusus 
untuk laki-laki saja?”
Jawab, segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam kepada 
rasulNya, keluarga dan para sahabatnya, khitan termasuk sunnah-sunnah 
fitrah, ia untuk laki-laki dan wanita, hanya saja ia wajib atas 
laki-laki, sunnah dan kemuliaan bagi wanita.”
Pendapat yang membedakan hukum khitan antara laki-laki dengan 
perempuan, bagi laki-laki khitan adalah wajib dan bagi perempuan khitan 
adalah sunnah merupakan pendapat tengah yang baik, penulis cenderung 
kepada pendapat ini dengan alasan, bahwa salah satu hikmah khitan bagi 
laki-laki adalah untuk membuang sisa kotoran yang tertahan dan mengendap
 di ujung penis yang belum dikhitan, sementara hikmah ini tidak terwujud
 pada wanita. Wallahu a'lam.
Waktu khitan
Imam an-Nawawi di dalam al-Majmu’ 1/308 berkata, “Rekan-rekan
 kami menganjurkan khitan pada hari ketujuh setelah kelahiran.” 
Selanjutnya Imam an-Nawawi menukil ucapan Ibnul Mundzir, diriwayatkan 
dari Abu Ja’far dari Fatimah bahwa dia mengkhitan anaknya pada hari 
ketujuh, tetapi al-Hasan al-Bashri dan Malik menyatakan makruh berkhitan
 pada hari ketujuh untuk menyelisihi orang-orang Yahudi, Ahmad bin 
Hanbal berkata, “Saya tidak mendengar apa pun tentang hal ini.” Al-Laits
 bin Saad berkata, “Khitan antara hari ketujuh sampai sepuluh.”
Imam an-Nawawi menukil ucapan Ibnul Mundzir setelah dia menyebutkan 
pendapat-pendapat ini, “Dalam bab khitan tidak terdapat larangan yang 
shahih, tidak ada batasan waktu yang bisa dijadikan sebagai rujukan, 
tidak pula sunnah yang diikuti, dan pada dasarnya segala sesuatu itu 
dibolehkan, tidak boleh melarang sesuatu kecuali dengan hujjah.”
Benar, jika kita merujuk kepada sunnah yang shahih maka kita tidak 
menemukan hadits shahih yang menetapkan waktu khitan, sebagaimana yang 
dikatakan oleh Imam Ahmad, “Saya tidak mendengar apa pun tentang hal 
ini.” Maksudnya tidak ada hadits yang menetapkan waktu khitan, jika ada 
niscaya aku mendengarnya. Jika memang demikian maka perkara waktu khitan
 adalah luas, tidak boleh dibatasi dengan hari-hari tertentu karena 
memang tidak ada dalil yang membatasinya.
Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah nomor 2392 pertanyaan kedua, 
“Kapan waktu yang diutamakan dan pas untuk khitan anak-anak, apakah 
dalam usia menyusu atau setelah baligh?”
Jawab, segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam kepada 
rasulNya, keluarga dan para sahabatnya, khitan tidak mempunyai waktu 
tertentu sebatas yang kami ketahui dari syariat yang suci, hanya saja 
semakin kecil seorang anak, maka akan semakin mudah. Selesai.
Perayaan khitan
Tidak ada hadits shahih yang menganjurkan perayaan dalam rangka 
khitan, tidak pula terdapat atsar dari perbuatan para sahabat yang 
melakukan itu, jadi perayaan khitan tidak memiliki dasar dalam syariat 
yang suci. Adapun berbahagia dengan momentum khitan maka ia termasuk 
perkara yang disyariatkan, dan tidak mengapa membuat makanan sekedarnya 
sebagai wujud syukur kepada Allah.
Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah nomor 2392 pertanyaan 
pertama, “Apa hukum menari, merayakan dan berbahagia dalam rangka 
khitan?”
Jawab, Adapun menari dan merayakan maka kami tidak mengetahui 
dasarnya dalam syariat yang suci, adapun berbahagia dengan khitan maka 
ia disyariatkan karena khitan termasuk perkara-perkara yang 
disyariatkan, Allah Ta’ala telah berfirman, “Katakanlah, ‘Dengan 
karunia Allah dan rahmatNya, hendaknya dengan itu mereka bergembira.”
 (Yunus: 58). Khitan termasuk karunia dan rahmat Allah, dan tidak 
mengapa membuat makanan dalam rangka ini sebagai ungkapan syukur kepada 
Allah atas hal itu. Selesai.
Bagaimana dengan seseorang yang masuk Islam dalam usia dewasa dan 
khitan berat atasnya, apakah dia harus berkhitan atau khitan gugur 
darinya?
Pertanyaan ini dijawab oleh al-Lajnah ad-Daimah, segala puji 
bagi Allah semata, shalawat dan salam kepada rasulNya, keluarga dan para
 sahabatnya, jika khitan berat atasnya setelah dia masuk Islam karena 
usianya yang tua maka ia gugur darinya, dia tidak dibebani berkhitan, 
karena dikhawatirkan hal itu menjadi sebab penolakannya untuk masuk 
Islam. Selesai.
(Izzudin Karimi)
sumber: http://bit.ly/qEjpvS 


0 Komentar