Ujian Kehidupan

Sekolah tidak boleh hanya menjadi persiapan untuk hidup. 
Sekolah harus menjadi kehidupan.

--Elbert Hubbard—

Setiap orang pasti pernah mengalami rasa galau, tak terkecuali dengan Winston Churchill. Inilah kegalauan yang pernah dirasakan mantan Perdana Menteri Britania Raya semasa Perang Dunia ke-2.

“Saya hampir merayakan ulang tahun ke-12 ketika memasuki wilayah-wilayah ujian sekolah yang tidak ramah, yang, selama 7 tahun berikutnya, saya diwajibkan menempuh perjalanan itu. Ujian ibarat persidangan besar bagi saya. Subjek-subjek yang disukai para penguji hampir semuanya adalah materi-materi yang tidak saya sukai.

Sebenarnya, saya lebih suka diuji dalam subjek sejarah, puisi, dan menulis esai. Tetapi, di pihak lain, para penguji lebih suka Bahasa Latin dan matematika. Dan kehendak merekalah yang berlaku. Terlebih lagi, pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tentang kedua subjek tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama sekali tidak mampu saya jawab dengan memuaskan. 

Saya sebenarnya lebih suka jika diminta untuk mengatakan apa yang saya ketahui benar-benar. Tetapi mereka selalu mencoba menanyakan apa yang tidak saya ketahui. Ketika saya hendak bermaksud menunjukkan pengetahuan saya, mereka mencoba mencari-cari dan mengungkap ketidaktahuan saya. Perlakuan semacam itu hanya akan mengakibatkan satu hasil, saya tidak dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik."

Ujian sekolah sangat berbeda dengan ujian hidup. Ujian sekolah merupakan bagian kecil dari ujian hidup. Sesulit apa pun ujian sekolah, pasti ada kunci jawabannya. Tapi ujian hidup, kunci jawabannya ada pada kesadaran untuk mengambil hikmah atas setiap kejadian yang dialami. 

Ujian, fase hidup yang harus dilewati agar bisa "naik kelas". Tanda naik kelas bisa ditunjukkan lewat bertambahnya pengalaman hidup, konsistennya semangat belajar, terjaganya sikap kejujuran, makin terasah keterampilan hidup, serta indikator sejenis lainnya. 

Ujian sekolah mestinya bisa menguji pula cara berpikir dan bersikap murid. Memang, hasil ujian sekolah pada akhirnya hanya menorehkan sejumlah angka dan huruf, yang menunjukkan murid berhasil atau gagal mengikuti suatu program pendidikan. Itu sudah tepat. Meski masih ada yang kurang, jika hanya aspek pengetahuan saja yang diujikan. 

Kondisinya malah lebih mengenaskan, jika ujian itu tak mampu melatih serta makin mengasah keterampilan hidup yang mestinya bisa dikuasai murid. Bisa dipastikan, ketika ujian telah berlalu, maka tak ada satu kemampuan khusus dimiliki murid. Ada dan tiadanya ujian sekolah, tak mampu membuat keterampilan hidup murid semakin terasah dan membuat mereka siap menghadapi tantangan hidup di masa depan kelak. 

Ujian sekolah, apa pun jenis serta namanya, entah itu ulangan harian, ujian semester, maupun ujian nasional, hal itu merupakan simbolisasi proses evaluasi perkembangan belajar siswa di suatu sekolah. Persoalan muncul ketika hasil ujian sekolah tak mampu mengubah keterampilan murid untuk mengantisipasi persoalan kehidupan. 

Boleh jadi seorang murid punya nilai bagus untuk ujian matematikanya. Tapi, mampukah murid gunakan ilmu matematika tersebut untuk mengambil keputusan penting dalam hidupnya? Murid bisa jawab soal ujian tentang tahun terjadinya perang Diponegoro. Tapi, bisakah murid mencari makna hidup dari kalahnya Pangeran Diponegoro ketika berperang melawan penjajah? 

Sehebat apa pun ujian sekolah, tetap terbatas pada soal menguji pengetahuan saja. Padahal, hidup tak cukup bermodal pengetahuan. Tapi mesti mampu mengkombinasikan pengetahuan, sikap hidup yang tepat, dan keterampilan yang dimiliki, untuk menjadi modal dalam mengarungi persaingan hidup. 

Adakah satu cara untuk menakar kualitas pengetahuan, sikap, serta keterampilan hidup kita secara bersamaan? Itulah ujian hidup. Ujian hidup menuntut kita untuk selalu bersiaga, agar tetap konsisten belajar sampai akhir hayat. Sekolah baru disebut kreatif, jika di saat murid harus mengikuti ujian pengetahuan, secara tersirat murid pun diuji untuk mampu tetap bersikap jujur, mampu mengelola waktu belajar, mampu menggunakan strategi belajar efektif dan menguji keterampilan hidup lainnya di luar konten materi ujian sekolah.

Ken Key (President Partnership for 21st Century Skills) menyatakan, bahwa sosok manusia abad 21 harus memiliki beberapa keterampilan dasar penting, di antaranya: (1) Pemikir yang kritis; (2) Seorang penyelesai masalah; (3) Dapat berkomunikasi secara efektif; (4) Dapat berkolaborasi secara efektif; (5) Dapat mengarahkan diri sendiri; (6) Paham akan informasi dan media; (7) Paham dan sadar akan fenomena global;(8) Memikirkan kepentingan umum; (9) Terampil dalam keuangan, ekonomi, dan kewirausahaan. 

Pertanyaan kritisnya, apakah dunia pendidikan lewat aktivitas di sekolah, telah mampu menghasilkan sumber daya manusia yang punya seabrek keterampilan hidup agar bisa menjadi manusia abad 21? Ujian sekolah dapat dipastikan takkan mampu jawab tantangan ini. Hanya ujian hidup saja yang akan mampu membuat murid selalu sadar untuk terus belajar sepanjang hayat. 

Sekolah terbatas pada jenjang pendidikan tertentu. Itu pun, jika mampu membayar biayanya yang kini sudah setinggi langit. 

Kehidupan, sekolah terbaik yang memberikan keleluasaan siapa pun untuk mempelajari sesuatu yang berharga dalam hidup. Sayangnya, sekolah tak pernah ajarkan bagaimana caranya bisa survive dalam hidup. Lucunya, orang-orang lulusan sekolah bahkan tak mampu atasi persoalan hidup mereka. Lantas, apa yang sudah mereka lakukan di sekolah? Apakah ujian sekolah tak mampu menjadi ajang latihan menyelesaikan persoalan hidup yang jauh lebih rumit? 

Kehidupan, punya teka-teki menarik untuk dipelajari. Gratis, tak usah bayar untuk mengikuti ujian kehidupan. Tak ada seabrek syarat agar kita bisa ikut ujian kehidupan. Modalnya hanya satu, kemauan untuk terus belajar. Maaf, tak ada sertifikat kelulusan bagi yang sudah melakoni ujian kehidupan. Kemandirian dalam cara berpikir dan bersikap, itulah tanda orang-orang yang lulus ujian kehidupan. Tengok sebentar mereka yang lulus ujian sekolah? Corat-coret seragam jadi pilihan sikap karena merasa sudah lulus ujian. Lantas setelah itu, mereka bingung apa yang mesti diperbuat untuk masa depan mereka? Sungguh memilukan. 


Asep Sapa'at
Teacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa


Sumber: republika.co.id

Posting Komentar

0 Komentar